٣٩ـ٤٦ـ غِلَظُ الْقُلُوْبِ وَالْجَفَاءُ فِي أَهْلِ
الْمَشْرِقِ، وَالْإِيْمَانُ و السَّكِيْنَةُ فِي أَهْلِ الحِجَازِ (حم م) عن جابر
(صح). [الجامع(٥٧٨٠)، مسلم(٥٣)]ـ
[39](46) Hati yang keras dan perangai yang kasar terdapat
pada arah timur, dan keimanan dan ketenangan ada pada ahli Hijaz (Makkah, Madinah,
dan sekitarnya). (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir. SHAHIH). [Al-Jami:5780,
Muslim:53].[1]
[37](44) Pokok
kekufuran pada arah timur, angkuh (berbangga diri) dan sombong (dan merendahkan
orang lain) ada pada pemilik kuda dan unta yang bersuara keras dan hidup secara
nomaden, dan ketenangan (dan ketentraman) ada pada pemilik kambing. (HR. Malik,
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. SHAHIH). [Al-Jami:4372, Bukhari:3301,
Muslim 52]
Pengkhususan daerah
al-masyrik (timur) dengan tambahan syetan dan kekafiran telah
menguasainya, terjadi pada saat diucapkan hadits ini di jaman Nabi shallallahu
Alaihi wa Sallam, dan terjadi pada saat Dajjal keluar dari timur, dan
diantara waktu itu akan muncul fitnah-fitnah yang besar, munculnya kekafiran,
kezhaliman, serta kesombongan.[1]
[1] Ibid.,
jld.II., hlm.39., Penjelasan hadits nomor 52.
[36](43) Keimanan
(yang kuat) itu ada para orang – orang Yaman. (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu
Mas`ud. SHAHIH). [Al-Jami:3097, Bukhari 3302, Muslim:51].
Sebagian ulama
telah mengalihkan makna zhahir (lahir) teks, yaitu bahwa sumber keimanan adalah
Makkah dan kemudian Madinah.
Mengenai hal
tersebut mereka berselisih pendapat menjadi tiga: pertama, maksud Yaman dalam
hadits tersebut adalah Makkah. Kedua, maksud Yaman dalam hadits tersebut adalah
Makkah dan Madinah. Ketiga Yaman dalam hadits tersebut yang dimaksud adalah
orang – orang anshar karena mereka pada asalnya adalah orang – orange Yaman.[1]
[1] Ibid.,
jld.II., hlm.38., Penjelasan hadits nomor 51.
[35](42)
Barangsiapa diantara kalian melihat yang munkar, maka hendaklah ia mengubahnya
dengan tangannya, maka kalau tidak mampu maka dengan lisannya, maka kalau tidak
mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR. Ahmad,
Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasaai, dan Ibnu Majah dari Abu Sa`id. SHAHIH).
[Al-Jami:8687, Muslim:46].
Amar ma`ruf dan
nahi munkar hukumnya bisa jadi fardhu kifayah
dan fardhu ain, tergntung ilat hukumnya. Dalam melaksanakan Amar
ma`ruf dan nahi munkar tidak disyaratkan seseorang tersebut sempurna,
menerapkan apa yang dia perintahkan dan menjauhi apa yang dia larang.[1]
[1]
Ibid., jld.II., hlm. 27., Penjelasan hadits nomor 49.
٣٤ــ٤١ــ لَا يدْخُلُ الْجَنَّةَ
مَنْ لَا يَأْمَنْ جَارَهُ بَوَائِقَهُ (م) عن أبي هُرَيْرَةَ (صح) [الجامع(٩٩٦٤)،
مسلم(٤٦)]ـ
[33](41) Tidak
akan masuk surga, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.
(HR. Muslim. SHAHIH) [Al-Jami: 9964, muslim:46].
Bawaaiq artinya adalah
malapetaka, musibah, dan bencana. Hadits ini memiliki dua makna: Pertama orang
yang menghalalkan perbuatan buruk tersebut padahal dia tahu hal tersebut adalah
haram, orang ini menjadi kafir dan tidak akan masuk surga. Kedua Orang tersebut
tidak akan masuk surga pada waktu orang – orang beruntung memasukinya, orang
tersebut ditunda, diproses dahulu, kemudian bisa jadi setelah semua beres baru
bisa masuk surga.[1]
[1]
Ibid., jld.II., hlm. 22., Penjelasan hadits nomor 46.
٣٣ـ٤٠ـ قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ
فَاسْتقِمْ (حم م ت ن ه) عن سفيان بن عبد الله الثقفي (صح).[الجامع(٦١٤٣)، مسلم(٣٨)]ـ
[33](40)
Katakanlah: “Aku telah beriman kepada Allah, kemudian ber-istiqamah-lah
(dalam keimanan tersebut)”. (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, Nasaai, dan Ibnu
Majah dari Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqafi. SHAHIH). [Al-Jami:6143, Muslim:38]
Katakanlah aku
beriman kepada Allah kemudian terus konsisten dalam keimanan dan mentaati Allah
sampai maut menjemput.[1]
[1] Ibid.,
Jld.II., hlm. 11., Penjelasan hadits nomor 38.
٣٢ـ٣٩ـ ذَاقَ طَعْمَ الْإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ
بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا، وَ بِمُحَمَّدٍ رَسُوْلًا (حم م ت ) عن
العباس بن عبد المطلب (صح).
[32](39) Niscaya
akan merasakan rasanya iman bagi orang yang ridha terhadap Allah sebagai
Rabb, islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. (HR. Ahmad, Muslim,
dan Tirmidzi dari Abbas bin Abdul Muthalib. SHAHIH). [Al-Jami:4309, Muslim:34].
Orang yang bisa mencicipi
dan merasakan rasanya keimanan (nikmat, lezat, manis, atau gambaran rasa
lainnya) adalah orang – orang yang merasa cukup dan puas serta tidak mencari
tuhan lain selain Allah SWT, merasa cukup dan puas serta tidak akan mencari
jalan lain selain jalan syariat islam, dan merasa cukup dan puas akan kenabian
dan syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW.[1]
=
Jaami`ush Shaghiir Hadits Nomor 4309
٤٣٠٩ــ
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا،
وَ بِمُحَمَّدٍ رَسُوْلًا (حم م ت ) عن العباس بن عبد المطلب (صح)ـ
4309- Niscaya akan merasakan rasanya iman bagi orang yang ridha terhadap
Allah sebagai Rabb, islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul. (HR.
Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi dari Abbas bin Abdul Muthalib. SHAHIH).
Orang yang bisa mencicipi dan merasakan rasanya keimanan (nikmat, lezat,
manis, atau gambaran rasa lainnya) adalah orang – orang yang merasa cukup dan
puas serta tidak mencari tuhan lain selain Allah SWT, merasa cukup dan puas
serta tidak akan mencari jalan lain selain jalan syariat islam, dan merasa
cukup dan puas akan kenabian dan syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW[1]
Sunan
Abu Dawud Hadits Nomor 1529
من قالَ: رَضيتُ باللَّهِ ربًّا، وبالإسلامِ دينًا،
وبِمُحمَّدٍ رسولًا، وجَبت لَهُ الجنَّةُ (سنن أبى داود:١٥٢٩) عن أبى سعيد الخدري
(صحيح)ـ
Barang
siapa yang mengucapkan (رَضيتُ
باللَّهِ ربًّا، وبالإسلامِ دينًا، وبِمُحمَّدٍ رسولًا) Aku ridaha Allah sebagai Rabb (Tuhan), islam sebagai agama,
dan Muhammad (saw adalah seorang) Rasul (utusan), maka wajib baginya surga.
(HR. Abu Dawud dari Abu Sa`iid al-Khudri. SHAHIH)
Shahih
Muslim Hadits Nomor 1884
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: يَاأَبَا سَعِيْدٍ
مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا، وَ بِمُحَمَّدٍ صلى الله عليه
وسلم نَبِيًّا وجَبت لَهُ الجنَّةُ ... (صيح مسلم:١٨٨٤) عن أبى سعيد الخدري (صحيح)ـ
Sesungguhnya
Rasulullah saw bersabda: Ya Aba Sa`iid, Barangsiapa yang ridha Allah sebagai
Rabb (Tuhan), islam sebagai agama, dan Muhammad saw sebagai Nabi, maka
wajib baginya surga. (HR. Muslim dari Abu Sa`iid al-Khudri. SHAHIH)
Sunan
Tirmidzi Hadits 3389
مَن قالَ حينَ يُمسي : رضيتُ باللَّهِ ربًّا ، وبالإسلامِ
دينًا ، وبمحمَّدٍ نبيًّا ، كانَ حقًّا على اللَّهِ أن يُرْضيَهُ (سنن الترمذى:٣٣٨٩)
عن ثوبان مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم
(ضعيف) قال ابو عيسى هذا حديث حسن غريب من هذا الوجه ـ
Barangsiapa
berkata saat masuk waktu sore: (رضيتُ باللَّهِ ربًّا ، وبالإسلامِ دينًا ، وبمحمَّدٍ نبيًّا) Aku ridha
Allah sebagai Rabb (Tuhan), islam sebagai agama, dan Muhammad (saw adalah
seorang) Nabi, maka dia berhak mendapatkan ridha Allah swt. (HR. Tirmidzi
dari Tsaubaan maula Rasulallah saw. DHAIF). Abu Musa berkata hadits ini hasan
gharib dari wajah ini.
Sunan
Abu Dawud Hadits Nomor 5072
من قالَ إذا أصبحَ وإذا أمسى رضينا باللَّهِ ربًّا
وبالإسلامِ دينًا وبمحمَّدٍ رسولًا إلَّا كانَ حقًّا على اللَّهِ أن يُرضيَهُ (ابو
داود:٥٠٧٢) عن رجل خدم النبي (ضعيف)ـ
Barangsiapa
berkata apabila masuk waktu subuh (pagi) dan apabila masuk waktu sore (kalimat)
(رضينا باللَّهِ
ربًّا وبالإسلامِ دينًا وبمحمَّدٍ رسولًا) Kami ridha Allah sebagai Rabb (Tuhan), islam sebagai agama,
dan Muhammad (saw adalah seorang) Rasul (utusan), maka dia berhak
mendapatkan ridha Allah swt. (HR. Abu Dawud dari seorang laki – laki pembantu
Rasulullah saw).
Sunan
Ibnu Majah Hadits Nomor 3870
ما مِن مسلمٍ أو إنسانٍ أو عبدٍ يقولُ حينَ يُمسي
وحينَ يصبحُ رضيتُ باللَّهِ ربًّا وبالإسلامِ دينًا وبمحمَّدٍ نبيًّا إلَّا كانَ حقًّا
على اللَّهِ أن يُرضِيَهُ يومَ القيامةِ (ابن
ماجه:٣٨٧٠) عن أبى سَلاَّمٍ خَادِمِ النبي صلى الله عليه وسلم (ضعيف)ـ
Tiada
seorang muslim atau seorang manusia atau seorang hamba apabila masuk waktu sore
dan masuk waktu subuh (pagi) mengucapkan (kalimat) (رَضِيْتُ باللَّهِ ربًّا وبالإسْلاَمِ دينًا وبمحمَّدٍ نبيًّا) Aku ridha
Allah sebagai Rabb (Tuhan), islam sebagai agama, dan Muhammad (saw adalah
seorang) Nabi, terkecuali Allah berhak meridhainya pada hari kiamat. (HR.
Ibnu Majah dari Abu Sallam pelayan Rasulullah saw. DHAIF)
Shahih
Muslim Hadits Nomor 386
مَن قالَ حِينَ يَسْمَعُ المُؤَذِّنَ أشْهَدُ أنْ
لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وحْدَهُ لا شَرِيكَ له، وأنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسولُهُ،
رَضِيتُ باللَّهِ رَبًّا وبِمُحَمَّدٍ رَسولًا، وبالإسْلَامِ دِينًا، غُفِرَ له ذَنْبُهُ.
قالَ ابنُ رُمْحٍ في رِوَايَتِهِ: مَن قالَ حِينَ يَسْمَعُ المُؤَذِّنَ: وأَنَا أشْهَدُ
ولَمْ يَذْكُرْ قُتَيْبَةُ قَوْلَهُ: وأَنَا (مسلم:٣٨٦) عن سعد بن أبي وقاص (صح)ـ
Barangsiapa
saat mendengar adzan membaca: (أشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وحْدَهُ لا شَرِيكَ له،
وأنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسولُهُ، رَضِيتُ باللَّهِ رَبًّا وبِمُحَمَّدٍ رَسولًا،
وبالإسْلَامِ دِينًا) maka diampuni dosa – dosanya. Ibnu Rumhin berkata dalam
riwayatnya: Barangsiapa saat mendengar adzan membaca(وأَنَا أشْهَدُ) dan Qutaibah tidak menyebutkan perkataan (وأَنَا). (HR. Muslim dari Sa`d bin Abi Waqash. SHAHIH).
Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah:
3)